HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar
Banner Ad Space

Opini: Prabowo dan Isu Matahari Kembar | Politik Nasional 2025

Opini: Prabowo dan Isu Matahari Kembar | Politik Nasional 2025

TVsembilan.com - Beberapa hari pasca-Lebaran, publik dikejutkan dengan parade kunjungan sejumlah menteri Kabinet Prabowo ke Solo—menemui Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Sepintas, ini tampak seperti silaturahmi biasa. Tapi, seperti biasa, di dunia politik, tidak ada yang benar-benar “biasa.”

Apalagi ketika seorang menteri menyebut Jokowi masih sebagai “bos.” Di tengah transisi pemerintahan, kata-kata seperti ini bisa jadi sangat bertenaga. Dan isu matahari kembar pun kembali mencuat. Sesuatu yang dalam politik Indonesia sangat sensitif: dua pusat kekuasaan dalam satu pemerintahan.

Prabowo Tanggapi Isu Matahari Kembar: Tenang tapi Tegas

Apa tanggapan Prabowo? Singkat, tenang, dan strategis.

Melalui Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani, Prabowo menyatakan tidak terganggu sedikit pun. Para menterinya dianggap tetap loyal. Ia melihat kunjungan itu sebagai bagian dari tradisi Lebaran, bukan langkah politik bayangan.

Dan bagi saya, itu adalah sikap yang cerdas. Di tengah riuhnya opini publik dan desas-desus elite, Prabowo memilih tidak ikut larut. Ia tidak ingin terseret ke dalam permainan persepsi yang bisa menggerus fondasi pemerintahannya yang bahkan belum genap satu tahun berjalan.

Jokowi: Masih Berpengaruh, Tapi...

Suka atau tidak, Jokowi masih menjadi magnet politik. Ia bukan lagi presiden, tapi jejak pengaruhnya masih terasa, terutama di kalangan para menteri yang dulunya adalah “anak buah” dan loyalisnya.

Tapi di sini letak ujian terbesar dalam politik modern: kapan saatnya mundur satu langkah demi menguatkan tatanan baru?

Saya percaya Jokowi bukan tipe yang ingin merusak transisi. Tapi jika para pejabat yang dulu loyal kepadanya masih terus menyebutnya “bos” dalam ruang publik, maka itu menimbulkan kebingungan. Apalagi di era digital—satu kata bisa menjadi peluru tajam jika salah tempat.

Matahari Kembar: Sebuah Ancaman atau Sekadar Ilusi?

Sebetulnya, isu matahari kembar ini bukan hal baru. Era SBY dulu juga pernah menyentuh tema serupa. Bahkan Presiden ke-6 itu secara terbuka mewanti-wanti agar tidak pernah terjadi dua kekuatan dalam satu pemerintahan.

Kenapa ini dianggap ancaman? Karena jika tidak dikendalikan, bisa menimbulkan dualisme komando, kebingungan arah kebijakan, dan instabilitas politik jangka panjang.

Tapi mari kita jujur: hingga saat ini, belum ada bukti konkret bahwa ada upaya Jokowi untuk mengintervensi pemerintahan Prabowo. Yang ada adalah tafsir, asumsi, dan potongan narasi dari media sosial yang viral dalam semalam.

PAN & Partai Koalisi: Isu Ini Terlalu Dibesar-besarkan

Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, menyebut istilah matahari kembar ini "berlebihan." Ia bilang, ini cuma soal silaturahmi, bukan kudeta politik. Dan saya setuju sebagian besar.

Namun, kesalahan bukan pada kunjungannya, melainkan pada framing yang muncul setelahnya. Ketika seorang pejabat publik berkata “Pak Jokowi masih bos,” ia tidak sekadar mengucapkan kalimat biasa. Ia sedang—disadari atau tidak—mengirimkan sinyal ke publik.

Dalam politik, persepsi bisa lebih kuat dari kenyataan.

Analisis Pribadi: Prabowo Masih Jadi Poros Utama

Saya tidak melihat adanya dua matahari dalam konteks kekuasaan eksekutif hari ini. Prabowo telah memegang mandat penuh, dan hingga detik ini, tidak ada kebijakan atau langkah strategis dari kabinet yang menunjukkan adanya arahan di luar Presiden Prabowo.

Namun, politik Indonesia tidak hanya tentang struktur formal, tapi juga tentang simbol dan loyalitas personal. Di sinilah tantangannya. Prabowo harus mampu merangkul para menteri yang punya hubungan emosional dengan Jokowi, sambil memastikan arah pemerintahannya tidak bias.

Ia juga harus memastikan bahwa transisi ini bukan hanya soal pindah jabatan, tapi juga soal restrukturisasi komando.

Kesimpulan: Waspada Boleh, Panik Jangan

Bagi saya, isu matahari kembar ini lebih banyak soal tafsir ketimbang fakta. Prabowo sudah menunjukkan sikap yang tenang, tidak reaksioner, dan tetap percaya pada loyalitas timnya.

Namun demikian, komunikasi politik ke depan harus lebih rapi. Jangan sampai simbol-simbol, ucapan, atau gesture para menteri justru jadi bahan bakar spekulasi liar.

Karena dalam politik, satu kata bisa menciptakan badai.

 

 

Posting Komentar
Tutup Iklan
Floating Ad Space